Raya and The Last Dragon: Sebatas Budaya dan Ikon
Oleh: Florencia Azella Setiajid
Judul : Raya and The Last Dragon
Genre : Animasi/Action/Petualangan/Komedi/Keluarga/Fantasi
Tahun Rilis : 2021
Sutradara : Don Hall, Carlos López Estrada
Penulis : Adele Lim
Pengisi Suara : Kelly Marie Tran, Awkwafina, Gemma Chan, Benedict Wong, Daniel Dae
Kim, Sandra Oh
Mendengar bahwa Disney akan menciptakan film Disney Princess yang berlatar belakang budaya Asia Tenggara tentunya menarik perhatian penggemar Disney di seluruh dunia terutama mereka—dan kita—yang lahir dan tumbuh besar di negara-negara di Asia Tenggara yang sangat jarang memiliki representasi di industri film global. Namun apakah sungguh Raya and The Last Dragon sudah dapat mewakili jati diri Asia Tenggara?
Dilansir dari The Atlantic, sutradara Don Hall dan Carlos López Estrada menyusuri Laos, Indonesia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Singapura, and Malaysia
Ya, tentu saja ada beberapa adegan perkelahian di mana Raya menunjukkan teknik seni bela dirinya. Seperti Disney Princess lain yang diciptakan sejak tahun 2012 yaitu Merida—dari film Brave—dan Moana, tidak ada romansa dan kisah cinta sama sekali di dalam kisah Raya, melainkan kisah yang berfokus pada petualangan mereka sebagai putri dalam memperjuangkan nilai-nilai tertentu. Sementara nilai yang diajarkan di film Brave berupa pilihan hati dan di film Moana berupa jati diri, nilai yang ditekankan di dalam kisah Raya adalah mengenai rasa percaya antar manusia.
Raya (Kelly Marie Tran) dan Namaari (Gemma Chan) bertekad untuk menemukan naga terakhir yakni Sisu (Awkwafina), dan bersama teman-temannya; Boun (Izaac Wang), Tong (Benedict Wong), dan Little Noi (Thalia Tran) yang berasal dari lima suku yang berbeda berpetualang memperjuangkan persatuan kembali negeri mereka, Kumandra. Meskipun Raya and The Last Dragon sudah berhasil mengangkat budaya Asia Tenggara serta nilai-nilai yang penting untuk diajarkan ke anak-anak maupun orang dewasa, tentunya film ini juga masih memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya adalah pemilihan pengisi-pengisi suara tersebut. Keenam pengisi suara utama tersebut semuanya lahir dan tumbuh besar di Amerika dan Inggris, sehingga bahasa inggris mereka sama sekali tidak memiliki aksen Asia Tenggara—atau yang di Jawa biasa kita sebut medhok. Alangkah lebih menariknya apabila pengisi suara karakter-karakter di film tersebut dipilih yang berasal dari Asia Tenggara, seperti Henry Golding dan Michelle Yeoh yang lahir di Malaysia dan Joe Taslim yang lahir di Indonesia, sehingga dapat memberikan suara dengan aksen khas Asia Tenggara.
Selain itu, sangat disayangkan juga bahwa film ini dijadikan film Disney Princess kedua yang tidak musikal setelah Brave. Dilansir dari Cinema Blend, penulis naskah Adele Lim mengatakan bahwa para pembuat film Raya and The Last Dragon memilih untuk tidak menjadikan Raya tokoh musikal agar sesuai dengan karakter pejuangnya. Adele Lim mengatakan bahwa akan menjadi aneh apabila Raya tiba-tiba berhenti untuk bernyanyi di tengah-tengah adegan perkelahiannya. Keputusan tersebut sangat disayangkan karena sebelumnya sudah terbukti bahwa karakter putri pejuang di film Disney Princess tetap dapat menjadi musikal. Contohnya adalah Disney Princess pejuang yang paling pertama yaitu Mulan, dan disusul oleh Moana. Dalam kedua film tersebut, Mulan dan Moana adalah tokoh putri pejuang yang tidak mencari kisah cinta, namun di tengah perjuangan mereka, mereka tetap diberikan adegan musikal untuk menunjukkan sisi emosional dan kerapuhan mereka sebagai manusia. Selain bahwa tidak adanya musikal membuat film Disney Princess seperti Brave dan Raya and The Last Dragon menjadi terlalu kaku, yang sangat disayangkan adalah artinya film Raya and The Last Dragon belum berhasil mengangkat musik khas Asia Tenggara yang unik, tradisional, dan tidak bisa ditemukan di belahan dunia lain.
Akan tetapi, yang menjadi kekurangan terbesar dari Raya and The Last Dragon adalah alur dan plot dari film itu sendiri. Di balik adopsi budaya yang kaya di film ini, terdapat alur dan plot yang cliché dan hampa. Plot utama Raya and The Last Dragon yaitu mengumpulkan objek yang menyimpan kekuatan tertentu untuk melawan musuh jahat sangatlah umum dan dapat ditemukan di film lain seperti Harry Potter yang mengumpulkan horcrux untuk mengalahkan Voldemort dan Avengers yang mengumpulkan Infinity Stones untuk mengalahkan Thanos. Selain itu, yang lebih disayangkan adalah alur dan plot kisah petualangan Raya sama sekali tidak ada hubungannya dengan budaya kaya Asia Tenggara yang sudah diangkat sehingga menjadikan budaya-budaya tersebut hanya menjadi aksesoris dan hiasan semata.
Jadi menurut kalian, apakah Raya and The Last Dragon sudah cukup untuk mewakili Asia Tenggara di ranah industri perfilman global?
Penulis
Florencia Azella Setiajid
Tim Writer Kine
Penyunting
Syifa Maulida Hajiri
Tim Writer Kine
Referensi:
Labat, S. (2021, March 5). Why Raya And The Last Dragon Is Not A Musical. Retrieved from CinemaBlend: https://www.cinemablend.com/news/2563863/why-raya-and-the-last-dragon-is-not-a-musical
Li, S. (2021, March 6). The Flawed Fantasy World of Raya and the Last Dragon. Retrieved from The Atlantic: https://www.theatlantic.com/culture/archive/2021/03/the-fantasy-southeast-asia-of-raya-and-the-last-dragon/618222/
Comments
Post a Comment