The Cult Classic: Clueless
Oleh: Muhammad Alhadid Firmansyah
Judul : Clueless
Genre : Chick Flick, Comedy
Tahun Rilis : 1995
Sutradara : Amy Heckerling
Penulis : Amy Heckerling
Pemeran : Alicia Silverstone, Paul Rudd, Brittany Murphy
“Ugh, As If!”
Siapa yang tidak asing dengan slogan tersebut. Clueless merupakan film karya Amy Heckerling yang menentang jalannya waktu. Film ini tayang pertama kali pada tanggal 19 Juli 1995, dan masih relevan hingga saat ini. Cluelessmemiliki berbagai cita rasa visual yang membuatnya menjadi sebuah cult classic, baik itu jalan cerita, penulisan karakter, atau dialog yang dipenuhi dengan bahasa muda pada zamannya.
Menurut Filmsite.org, film kultus adalah sebuah film yang sedikit berbeda dan terbilang ngawur dibandingkan film lainnya pada saat itu. Film itu biasanya tidak dapat bersaing dengan film lainnya dalam box office. Namun, seiring waktu berjalan, film tersebut mulai menarik hati demografis yang spesifik, yang kemudian menjadi penggemar setia film tersebut. Apa saja film yang termasuk dalam kategori tersebut? Tentu saja 10 Things I Hate about You, Mean Girls, dan tentunya, Clueless.
Apakah kamu pernah bertanya bagaimana tokoh fiktif zaman dahulu akan bertingkah di dunia saat ini? Well, Jika Emma (Karya Jane Austen) merupakan seorang gadis yang tinggal di California, seperti inilah ceritanya. Cluelessmengikuti jejak seorang gadis muda dalam menghadapi masalah di kehidupannya. Cher Horowitz (Alicia Silverstone) merupakan seorang gadis cantik, populer, dan cerdas. Ia tinggal berdua bersama ayahnya, Mel (Dan Heddaya), yang merupakan seorang pengacara atau penggugat yang kasar. Josh (Paul Rudd), kakak tiri Cher yang memiliki tingkat kesadaran sosial yang tinggi, sering mengolok Cher akan tingkah lakunya yang terbilang kekanak-kanakan. Cher memiliki banyak teman, namun hanya percaya pada Dionne (Stacey Dash) untuk menjadi seorang sahabatnya. Ketika Cher mendapatkan nilai yang jelek di kelas debat, Ia beranggapan bahwa Mr. Hall (Wallace Shawn) memberikannya nilai jelek tersebut karena ia tidak senang dengan hidupnya. Cher memutuskan untuk menjadi seorang mak comblang, agar Mr. Hall dapat menjadi bahagia dan mengubah nilainya. Ketika melihat proyek jodohnya berhasil, Cher merasa senang dan ingin mengatasnamakan “kebaikan” agar bisa melakukan hal hal serupa. Cher dan Dionne merubah tata rias seorang murid baru, Tai Frasier (Brittany Murphy), dan menjadikannya anggota ketiga dalam persahabatan mereka. Ketika Cher mengetahui Tai mulai menyukai Travis (Breckin Meyer), Cher segera mengenakan jubah mak comblang-nya dan mencoba untuk menyatukan Tai dengan Elton (Jeremy Sisto). Tetapi, Elton malah menyukai Cher dan mencoba untuk mengecup Cher di dalam mobilnya. Tentu saja Cher murka dan segera keluar dari mobil Elton.
Setelah berbagai hal buruk terus terjadi, Cher mulai merasa bingung. Ia merasa tidak memiliki kendali akan kehidupannya. Hal ini menjadi masalah yang besar ketika lelaki yang cher sukai ternyata gay, ia tidak lulus tes mengendarai mobil, dan kehilangan Tai sebagai sahabatnya. Cher akhirnya sadar betapa berbeda hidup yang sebenarnya dibandingkan dari kehidupan yang ia bayangkan. Hal ini mendorong Cher untuk mengubah tingkah lakunya dan berusaha menjadi gadis yang dewasa dan tulus. Cher pun akhirnya tidak merasa sendiri dan menemukan kasih sayang dari Josh.
Di bagian awal mula film ini, Amy Heckerling menghidangkan berbagai skenario yang memberikan gambaran kehidupan seorang Cher Horowitz. Cher hidup didalam sebuah gelembung sosial yang ia bangun karena background-nya yang serba berkecukupan. Namun, ketika Cher dihadapi oleh masalah yang tidak dapat dihindari dengan mudah, ia mulai menyadari betapa kerasnya dunia. Akibat perilakunya, Cher terus menerus menggali lubang untuk dirinya sendiri. Cher tidak dapat mengatasi masalah dengan baik, dan berpikir ia dapat menyelesaikan hal tersebut dengan mengalihkan perhatian atau dengan argumen. Film ini memiliki aplikasi teori ethos, logos, dan pathos. Amy Heckerling dengan pintar menyelipkan detail ini dalam adegan praktik debat di kelas pada awal mula film ini. Teori tersebut merupakan sebuah representasi bahwa Cher menguasai aspek etika dan pengalaman (dalam bidang tertentu). Namun logos ialah kelemahan Cher yang paling besar. Seperti ucapan Mr. Hall, Cher kekurangan wawasan yang cukup. Sepanjang film ini berjalan, Heckerling terus menerus menyelipkan teori ini layaknya easter eggs. Kita hanya akan sadar jika telah menonton film ini berkali-kali, atau diberi analisis lengkap. Cher terus menerus bergantung kepada tampilan busananya untuk merasa seolah dia memiliki kendali. namun ia sadar bahwa ia tidak dapat melakukan hal tersebut terus menerus, sehingga ia terpaksa menghadapi dilemanya secara langsung. Akibatnya? Cher berhasil mengerti dirinya dengan baik, ia sadar bahwa alasan mengapa ia menyukai pria yang dewasa dan sama sekali tidak ingin berhubungan dengan teman-teman sekolahnya tidak lain karena ia telah jatuh cinta dengan Josh (untungnya mereka tidak terikat darah).
Clueless menyajikan tatanan chick flick yang berbeda dari kebanyakan film dari genre tersebut. Dimana mereka akan meletakkan fokus utama dalam mendemonisasi sifat wanita dan meletakkan seorang pria di tengah sebagai bunga cinta, Heckerling mengutamakan proses kematangan mental seorang gadis SMA. Hal ini layaknya hembusan udara segar, Hollywood gemar membuat stigma negatif terhadap wanita yang sangat feminim; Tetapi, Clueless dan Cher menunjukkan bahwa menjadi individu yang sangat feminim dapat menjadi aset besar dalam kehidupan. Film ini terbilang ringan, humoris, dan timeless. Pacing dari storytelling-nya juga pas. Digandeng dengan soundtrack catchy layaknya Kids in America, Tak diragukan mengapa Clueless terbilang salah satu cult classic yang memiliki jejak signifikan dalam dunia Pop Kultur. Jika para pembaca memiliki waktu kosong atau membutuhkan hiburan, mungkin sedang merasa sendiri, desperate for love, atau hanya ingin melihat film dengan baju baju lucu; Clueless lah teman sejati kamu.
Penulis
Muhammad Alhadid Firmansyah
Penyunting
Syifa Maulida Hajiri
Comments
Post a Comment