Oleh: Nadhira Aufa Adzani
Menonton film sebagai hiburan merupakan salah satu sarana untuk mencapai gratifikasi atas kebutuhan emosional manusia. Akan tetapi, hiburan tidaklah melulu berputar pada konten pelipur lara yang mengandalkan comic relief dalam karya seseorang. Jika hiburan hanya ditujukan untuk sekedar melepas tawa atau melupakan kesedihan, bagaimana genre thriller, suspense, dan horror dapat bertumbuh subur dalam dunia seni, khususnya literatur dan perfilman? Nyatanya, masih banyak orang yang menikmati bahkan bersedia merogoh kocek untuk mengonsumsi konten hiburan yang bercabang dari tema-tema yang mengutamakan unsur kengerian dan ketakutan. Untuk menjawab pertanyaan yang menggelitik tersebut, jawabannya ialah karena sebagian orang tertarik untuk mencari sesuatu untuk memompa adrenalinnya dan mengeluarkan emosi negatif yang tersisa, salah satunya perasaan takut yang termasuk emosi terkuat dan tertua dalam diri manusia.
Dari the holy trinity of “frightening genres” yang sebelumnya sudah disebutkan, bagi orang pada umumnya, horor merupakan genre yang paling familiar sebab sering diperbincangkan. Istilah “horor” dalam dunia perfilman sebenarnya merupakan umbrella term yang menawarkan gambaran cerita yang bertema gelap/muram yang mendatangkan respons gelisah, takut, terkejut, ngeri, hingga rasa jijik dari audiensnya. Film bergenre horor erat kaitannya dengan karakter fiksi dan mahluk yang berkekuatan supranatural, roh jahat, hingga hantu. Selain itu, tidak jarang film horor menggabungkan unsur kekerasan fisik dan teror psikologis yang melibatkan karakter dengan gangguan mental (psychotic/disturbed), monster, dan sebagainya
Dilansir dari Greenscene.co.id, setidaknya ada 14 subgenre horor sehingga genre ini termasuk genre yang heterogen karena dapat bersinggungan dengan genre lain yang turut mewarnai dinamika genre ini. Dalam film horor aksi (Action Horror) tentunya telah dimasukkan elemen aksi yang biasanya menggunakan persenjataan, subgenre ini juga dapat digabungkan dengan horror adventure yang menitikberatkan pada ekspedisi ke tempat yang eksotis & dunia misterius serta natural horror yang berfokus pada kekuatan alam yang berbahaya misalnya tumbuhan dan hewan buas yang memiliki keanehan akibat mutasi. Berbeda dengan natural horror, body horror justru berfokus pada keanehan dan kebuasan dari bagian tubuh manusia yang mengalami kelainan akibat human error sehingga menciptakan monster dari tubuh manusia itu sendiri. Dekat dengan body horror, sci-fi horror biasanya bercerita tentang karakter hasil eksperimen gagal, ilmuwan yang “gila”, hingga perlawanan menghadapi alien. Melalui subgenre ini, sutradara David Cronenberg dikenal atas karya sci-fi & body horror yang menakjubkan lewat Cronenberg’s The Fly (1986). Kemudian, Subgenre horor yang menyoroti kekerasan fisik secara grafik biasanya masuk dalam horror slasher & splatter yang menampilkan kekerasan dengan adegan sadis (gore) yang menayangkan pembunuh bersenjata tajam dilengkapi efek khusus, banyak darah, kerusakan tubuh, mutilasi, dan lain-lainnya.
Adapun beberapa subgenre horor yang paling banyak diketahui dan diasosiakan dengan istilah “horor” klasik itu sendiri. Subgenre supranatural horror mengeksploitasi mahluk supranatural misalnya penyihir, siluman, hantu, iblis, beserta kejadian yang berkaitan dengan kekuatan supranatural, yang dapat juga disisipkan unsur religi pada plotnya. Elemen supranatural juga digunakan pada subgenre gothic horror yang diselimuti unsur gothic mulai dari desain, arsitektur, setting waktu hingga karakter fiksionalnya seperti drakula, dan lainnya. Mahluk supranatural pun digunakan untuk membumbui alur subgenre psychological horror yang bertujuan meresahkan kondisi mental & emosional, menggangu, dan menakut-nakuti audiensnya. Selain itu, terdapat subgenre hasil perkawinan genre thriller dan horor yakni horror thriller yang menimbulkan rasa takut dengan membangun ketegangan dalam alurnya, ketegangan dapat terbangun oleh peran-peran kunci termasuk pembunuh, psikopat, hantu dan lain-lain. Kekuatan supranatural juga tidak dapat dipisahkan dari latar belakang budaya dan sosial sehingga memperkaya genre horor dengan kehadiran folk horror yang disokong oleh kepercayaan, ritual, dan hal-hal tabu dalam setting kehidupan rural dan banyak melibatkan alam.
Beberapa subgenre horor yang tidak banyak digarap oleh para sineas justru membuat subgenre ini menjadi unik dan biasanya melekat pada ingatan penontonnya. Salah satunya Comedy Horror yang menyatukan unsur komedi dan humor yang tidak biasa dengan unsur horor membuat penontonnya terkejut atau bahkan takut. Keberadaan subgenre horror drama pun menambah heterogenitas genre horor, meskipun dalam subgenre ini elemen horor hadir untuk mendramatisasi alur cerita yang emosional. Selanjutnya, holiday horror yang dilatarbelakangi kejadian yang terjadi rentang waktu tertentu, umunya waktu liburan misalnya Halloween, Valentine, Christmas, Thanksgiving, dan masih banyak lagi. Terakhir, found footage horror, yakni subgenre yang menunjukkan teknik pengambilan gambar/film dengan rekaman yang dapat membuat penontonnya bergidik karena terasa lebih dekat dan nyata.
Heterogenitas genre horor dalam dunia perfilman tidak serta-merta muncul begitu saja sebab ragam subgenre ini lahir seiring kebangkitan sinema yang perlahan menjadi bagian integral kehidupan sosial. Perkembangan film horor yang pesat telah dikupas oleh New York Film Academy dalam tulisan yang berjudul “How Horror Movies Have Changed Since Their Beginning”. Dalam tulisan itu, di era sinema awal, sekitar tahun 1898, karya George Mellies muncul ke permukaan disebut-sebut sebagai film pertama yang memasukkan elemen “gelap” dan karakter fiksi-supranatural seperti tengkorak bergerak, siluman kelelawar, dan masih banyak lagi. Genre horor yang belum terlalu matang di era itu kemudian memanfaatkan cerita yang diadaptasi dari karya literatur klasik pada dua dekade awal abad ke-20. Selanjutnya pada rentang tahun 1920 hingga 1930-an, horor mulai diakui sebagai sebuah genre yang terpisah sehingga dianggap sebagai era produktif sineas film horor klasik sekaligus era keemasan yang membangkitkan bintang-bintang film horor. Di era keemasan genre film horor, para pembuat film melakukan penyempurnaan dan reiterasi cerita dari film horor yang telah diproduksi sebelumnya misalnya Frankenstein (1931), The Mummy (1932), adaptasi film warna Dr. Jekyll and Mr. Hyde (1931). Menurut Hughes (n.d.) di era ini muncul sutradara kenamaan salah satunya James Whale yang memproduksi film horor klasik antara lain Frankenstein (1931), The Old Dark House (1932), The Invisible Man (1933) dan The Bride of Frankenstein (1935).
Memasuki era post-atomic, sekitar tahun 1940 dan 1950-an, genre horor diperluas dengan mengutamakan cerita bertema bencana, invasi, dan mutasi radioaktif. Dua dekade selanjutnya, sinema mencoba membangun interaktivitas dengan audiensnya agar dapat memunculkan respons ketakutan yang hebat yang didukung oleh kemunculan teknologi dan inovasi seperti kacamata 3D, instalasi electric buzzer pada kursi penonton, dan lainnya namun tidak bertahan lama sebab membuat pengeluaran melonjak.
Di dekade-dekade selanjutnya, para sineas tidak berhenti mengeksplorasi ragam genre horor. Di tahun 1970 dan 1980-an, sineas horor kembali meramaikan sinema dengan kembali pada tema supranatural yang diperkuat dengan bumbu religi, kultural sampai iblis seperti The Exorcist (1973) and The Omen (1976). Selanjutnya, karya sutradara Mario Bava seperti The Girl Who Knew Too Much (1963), Blood and Black Lace (1964), Bay of Blood (1971) mengilhami sineas horor lain dan memulai era Slasher yang menyusul dan tumbuh subur di tahun 1980-an, dimana film horor memusatkan pada tokoh antagonis yang secara kejam “memburu” membunuh banyak orang, di antaranya Halloween (1978), Friday the 13th (1980) dan A Nightmare on Elm Street (1984). Kemunculan teknologi komputer grafis pada tahun 1990-an yang dapat memberi efek spesial yakni CGI, menelurkan film-film horor aksi dan zombie antara lain Anaconda (1997) dan Deep Rising (1998), Resident Evil (2002), Dawn of the Dead (2004), dan sebagainya. Film horor di abad 21 masih menaruh perhatian pada elemen seputar aksi, psikologis, supranatural, thriller, dan gore, seperti Orphan (2009), Train to Busan (2016), Insidious (2010), The Conjuring (2013), It (2017), dan Midsommar (2019).
Lantas bagaimana dengan kebangkitan film horor di tanah air? Indonesia yang kala itu masih hidup di bawah pendudukan pemerintah kolonial, pertama kali terpapar oleh film horor karya The Teng Cun dengan film yang bertajuk Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (1934), film psikologi horor Tengkorak Hidoep (1941) oleh Tan Tjoei Hock, Lisa (1971) yang digarap oleh M. Shariefuddin, dan Beranak dalam Kubur (1972). Film horor Indonesia kebanyakan berputar pada cerita rakyat lokal dan legenda yang dilekatkan oleh unsur mistis. Meskipun demikian, genre horor dalam perfilman Indonesia mulai diwarnai elemen komedi, sensualitas, serta religi di era Orde Baru yang masih membawa pengaruh kuat pada film horor Indonesia hingga awal dekade 2000-an, seperti film-film yang digarap oleh Findo Purwono yang karakteristiknya mengikuti tren, misalnya Setan Budeg (2009), Hantu Tanah Kusir (2010), dan Suster Keramas 2 di tahun 2011. Setelah melewati zaman keemasan film horor Indonesia yang tercatat pada dekade 1980-an, produksi film horor Indonesia mengalami kelesuan di tahun 1990-an. Namun, pasca reformasi membawa perubahan pada genre horor di perfilman Indonesia, terlihat dari adanya eksploitasi karakter hantu-hantu lokal khas Indonesia. Dikutip dari situs web Kincir belakangan ini, film horor Indonesia kembali melejit dan ramai dibicarakan akibat kehadiran karya sutradara Joko Anwar yaitu Pengabdi Setan (2017), Perempuan Tanah Jahanam (2019), serta serial antologi Folklore: A Mother’s Love (2018).
Menelusuri dinamika genre horor dalam dunia perfilman tidak hanya mematangkan pengetahuan kita bahwa hiburan pun dapat didasarkan oleh rasa takut dan imajinasi tetapi juga melebarkan wawasan kita tentang jenis-jenis genre horor hasil persilangan dengan genre-genre lain seperti Action horror, Horror Adventure, Supernatural Horror, Horror Thriller, Comedy Horror, Sci-fi horror, dan seterusnya. Dinamika genre horor dalam dunia perfilman ternyata juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-politik masyarakat dan inovasi teknologi. Sejauh ini, perkembangan genre horor baru di masa sekarang belum terlalu terlihat sebab para sineas masih berkutat pada menerbitkan sekuel, memproduksi remake, dan pembuatan film horor dalam subgenre yang sudah dikembangkan sebelumnya. Dinamika genre horor dalam dunia perfilman barat dan Indonesia berbeda dalam aspek tempo dan elemen yang dipadukan dengan induk genre. Namun, keduanya menawarkan alur cerita yang sama-sama unik yang disebabkan oleh perbedaan kultur dan latar belakang sosial.
Penulis
Nadhira Aufa Adzani
Tim Writer Kine
Penyunting
Farwa Malika
Tim Writer Kine
Comments
Post a Comment