Kurang lebih dalam kurun waktu dua tahun terakhir, judul-judul film produksi dalam negeri rajin bertengger di deretan jadwal tayang bioskop-bioskop Indonesia. Tidak hanya satu, terkadang bisa sampai empat judul yang rilis di pasaran dalam satu bulan. Ini tentu merupakan sebuah pertanda yang baik bagi kita. Ramainya bioskop dengan judul-judul film dalam negeri memberi arti bahwa sineas Indonesia sedang berada dimasa-masa produktif. Namun, hal ini tentu tidak muncul dalam sekejap. Ada sejarah panjang dibalik meningkatnya laju industri film Indonesia.
Sejarah film Indonesia diakui bermula dari Darah dan Doa karya Usmar Ismail di tahun 1950. Pandangan ini dibawa oleh Misbach Yusa Biran, salah satu yang cukup vokal menegaskan bahwa film-film yang dibuat sebelum tahun 1950 dianggap bukan film Indonesia (Pasaribu, 2017). Bagi beliau, status film nasional hanya sah apabila sebuah karya dibuat dengan kemerdekaan politik. Sebelum merdeka, tidak ada kemerdekaan politik bagi kita sehingga film-film yang diciptakan pada masa itu tidak dapat disebut sebagai film nasional.
Konsep awal kerangka perfilman Indonesia penuh dengan dominasi tiga hal: nasionalis, idealis, serta dibuat oleh orang asli Indonesia. Konsep ini terbentuk dengan munculnya generasi pembuat film yang nasionalis dan membawa nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Usmar Ismail yang menciptakan film Darah dan Doa merupakan salah satunya. Film beliau menggambarkan kisah nasionalis yang sangat realistis, tidak hanya bersifat komersil, dan didorong penuh oleh idealisme yang dimiliki. Usmar Ismail sebagai peletak tanda dimulainya sejarah film Indonesia kemudian ditetapkan pula sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Impian untuk menciptakan produk film yang idealis, non komersil, dan sarat nilai-nilai kebangsaan ternyata tidak semudah itu diwujudkan. Hal ini yang pada akhirnya lambat disadari oleh para penentu awal, bahwa identitas kebangsaan Indonesia sedari awal tidak pernah tunggal. Ada keragaman identitas yang dipinggirkan namun terlanjur mendarah daging dalam kerangka awal perfilman Indonesia. Pada akhirnya, harapan untuk menelurkan hanya film-film sarat nilai kebangsaan nan idealis pupus di tengah jalan.
Kendati konsep awal film nasional tidak berjalan dengan lancar, industri film Indonesia terus berkembang. Di awal tahun 1980, produksi film Indonesia meningkat dari 604 di tahun 1970–an menjadi 721 judul film (Sutadi, 2015). Jumlah penonton di bioskop juga turut meningkat. Tema-tema komedi, seks, seks horror, dan musik mendominasi produksi film ditahun-tahun tersebut. Kejayaan itu tidak berlangsung lama karena pada akhir tahun 1980–an film–film impor mulai masuk melalui bioskop 21. Film lokal akhirnya tergusur ke bioskop–bioskop pinggiran, namun sepi penonton karena alur cerita yang monoton dan kurang menarik perhatian. Film impor dianggap memberikan cerita dan visual yang lebih baik ketimbang film dalam negeri.
Industri perfilman Indonesia kemudian mengalami mati suri ditahun 1991-1998. Dalam satu tahun, industri film Indonesia hanya mampu meproduksi dua sampai tiga film. Hal ini disebabkan pesatnya perkembangan televisi swasta yang menayangkan hiburan tidak berbayar seperti Telenovela serta maraknya perdagangan VCD, LD, dan DVD yang membuat masyarakat enggan datang ke bioskop.
Film Indonesia mulai bangkit kembali ditahun 1998. Kemunculan film Cinta dalam Sepotong Roti, Petualangan Sherina, dan Ada Apa dengan Cinta yang sukses di pasaran membuat industri perfilman Indonesia perlahan bangkit kembali. Di mulai dari sana, sineas Indonesia mulai banyak menciptakan film-film apik di tahun–tahun berikutnya. Bangkitnya industri film Indonesia ini ditunjang juga oleh meningkatnya antusiasme masyarakat terhadap film dalam negeri. Dulu, masyarakat Indonesia sangat skeptis dengan film Indonesia karena dianggap belum bisa memberikan jalan cerita serta visual yang sebaik produksi Hollywood. Namun, anggapan ini mulai banyak berkurang seiring dengan perkembangan film Indonesia bertahun setelahnya.
Antusiasme masyarakat terhadap film Indonesia bisa dilihat dari data penonton film yang ada. Pada tahun 2019 (Januari-Juni) sendiri ada enam film nasional yang berhasil menembus jumlah satu juta penonton dalam penayangannya (FilmIndonesia, 2019). Enam film tersebut adalah Dilan 1991, Keluarga Cemara, My Stupid Boss 2, Preman Pensiun, Orang Kaya Baru, dan Yowis Ben 2. Film Dilan 1991 sendiri meraup jumlah penonton sebanyak 5.253.411 (FilmIndonesia, 2019) dan menjadi film dengan penonton terbanyak ditahun tersebut. Jumlah ini membuktikan bahwa film nasional sebenarnya mampu bersaing di pasar perfilman yang penuh dengan film impor dari luar. Ditambah lagi, pada setengah tahun berikutnya muncul film seperti Dua Garis Biru yang mendulang lebih dari 2,5 juta penonton.
Industri film di Indonesia mulai bangkit, sineas yang berbakat dengan ide segar pun banyak muncul kepermukaan, momentum ini tentu perlu dipertahankan. Untuk membuat ini semua tetap berjalan dengan baik, penghargaan bagi mereka yang berada dibalik layar produksi tentu harus ditingkatan. Tentunya dengan menonton karya mereka secara legal semampu yang kita bisa.
Daftar Pustaka
FilmIndonesia. (2019). Data Penonton 2019. Retrieved from FilmIndonesia.or.id: http://filmindonesia.or.id/movie/viewer#.XQiKWbwzbIX
Pasaribu, A. D. (2017, April 20). Mempertanyakan Film Nasional. Retrieved from bpi.or.id: https://www.bpi.or.id/artikel-21-MEMPERTANYAKAN_FILM_NASIONAL.html
Sutadi, H. (2010, Maret 11). Sejarah FIlm dan Perkembangan Film Indonesia. Retrieved from Kompasiana.com: https://www.kompasiana.com/herusutadi/54ff8c3da33311f44d5104db/sejarah-film-dan-perkembangan-film-indonesia
Penulis
Auni Azizah
Your typical communication learner, but i write upon the constellation at night
Penyunting
Farwa Malika
Tim Writer Kine
Comments
Post a Comment