Judul : Aruna dan Lidahnya
Genre : Drama, Comedy, Romance
Tahun rilis : 2018
Sutradara : Edwin
Penulis : Titien Wattimena
Pemeran : Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Hannah Al Rashid, Oka Antara
(Review ini mengandung spoiler bagi yang belum menonton filmnya)
Bicara tentang makanan tentu tidak ada habisnya. Makanan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang telah berevolusi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Di balik sebuah menu makanan dapat tersimpan sejuta cerita; dan dalam Aruna dan Lidahnya, sebuah film adaptasi dari novel yang sama karya Laksmi Pamunjtak, makanan menjadi saksi bisu akan perannya dalam sebuah kisah tentang persahabatan, cinta, dan kejujuran.
Aruna dan Lidahnya mengisahkan tentang Aruna Rai (Dian Sastrowardoyo), seorang ahli wabah yang memiliki kecintaan terhadap dunia kuliner. Suatu hari, ia ditugaskan oleh kantornya, One World, untuk menginvestigasi mencuat kembalinya kasus flu burung di Surabaya, Pamanukan, Pontianak, dan Singkawang bersama dengan Farish (Oka Antara), mantan rekan kerjanya yang kini bekerja untuk PWP2. Aruna pun mengambil kesempatan itu untuk sekalian berwisata kuliner dengan kedua sahabatnya, Bono (Nicholas Saputra) dan Nadezhda (Hannah Al Rashid), sambil berusaha mencari tahu rahasia di balik lezatnya nasi goreng buatan Mbok Sawal, ART masa kecilnya yang berasal dari Singkawang. Namun, dalam perjalanan ini, mereka malah dipertemukan dengan hal-hal yang tidak terduga—mulai dari pengungkapan rahasia-rahasia di antara mereka semua, hingga misteri di balik tujuan perjalanan mereka.
Estetika di Antara Lika-Liku
Film ini dibuka dengan narasi dari Dian Sastro sebagai Aruna mengenai pandangannya terhadap makanan, diiringi dengan close-up soto yang tengah ia nikmati (ada banyak sekali close-up makanan yang bikin ngiler di film ini), diakhiri dengan pandangan langsung ke arah penonton seakan-akan selama ini kita diajak berbicara dengannya. Hal inilah yang menjadi keunikan Aruna sepanjang film; sesekali, ia akan breaking the fourth wall, memberi kesan bahwa film ini merupakan Aruna sendiri yang tengah bercerita pada kita mengenai pengalaman-pengalamannya. Akting Dian Sastro sebagai Aruna sekilas mengingatkan pada karakter Cinta di Ada Apa dengan Cinta?—supel, easygoing, namun tak jarang juga keras kepala dan mudah terbawa perasaan. Di awal film kita sudah disuguhi interaksi duet maut Dian Sastro-Nicholas Saputra melalui tokoh Aruna dan Bono (ini merupakan film keempat mereka berdua setelah AADC, 3 Doa 3 Cinta, dan AADC 2). Bedanya, Bono sama sekali jauh dari kesan Rangga yang dingin—NicSap sebagai Bono cenderung ekspresif, pembawaannya lebih santai. Tokohnya di sini pun sama sekali tidak berperan sebagai love interest Aruna, meski tak jarang saya malah menganggap kalau Aruna lebih cocok bersama Bono alih-alih dengan love interest-nya yang sebenarnya, Farish.
Adapun Farish dan Nadezhda, tokoh yang merupakan teman sekaligus love interest bagi Aruna dan Bono, sejatinya merupakan karakter yang cenderung kompleks, meski saya merasa kompleksitas mereka kurang begitu digali di film ini. Farish, yang memiliki sifat pragmatis dan cenderung memandang segala sesuatu apa adanya, berkebalikan dengan Aruna yang lebih mengandalkan. Namun, perbedaan sifat inilah yang tak jarang mengakibatkan konflik di antara keduanya; terlebih karena munculnya kejanggalan di dalam riset mereka, seperti fakta di lapangan yang membuktikan bahwa sejauh ini belum ada yang benar-benar terjangkit flu burung. Masalah semakin diperkeruh dengan terkuaknya rahasia kalau Farish diam-diam menjalani hubungan dengan istri orang. Sebuah rahasia yang ternyata juga dimiliki oleh Nadezhda (hal ini sendiri juga sempat menimbulkan konflik antara Aruna dengan keduanya). Satu hal mengenai tokoh-tokoh di film ini adalah kecenderungan mereka untuk menjadi karakter yang dinamis dan tidak selamanya “sempurna”, bahkan terkadang kita dapat tidak menyukai mereka di beberapa adegan.
Sepanjang film, kita akan disuguhi keindahan kota-kota Surabaya, Pamanukan, Pontianak, dan Singkawang beserta dengan makanan-makanan khas dari daerah-daerah tersebut yang kerap kali direkam close-up. Menonton film ini tak jarang dapat membuat kita lapar (Saking ngilernya saya melihat soto buntut di adegan pembukaan saja, saya keesokan harinya sampai bertekad memesan soto di ojek online!). Soundtrack film ini juga menjadi salah satu poin plus—lagu-lagu lama yang diaransemen ulang turut membawa atmosfer dan mood dalam tiap adegan.
Pembangunan Konflik yang Baik, Namun Miss di Akhir
Sepanjang film, ada dua pertanyaan yang hinggap di benak saya sebagai penonton: tentang sifat asli dari penelitian flu burung Aruna dan Farish yang terkesan mencurigakan, dan apa sebenarnya rahasia di balik nasi goreng Mbok Sawal yang katanya enak sekali itu. Saya awalnya berekspektasi bahwa film ini akan menjadi semi misteri. Dan memang, pada akhirnya jawaban dari kedua pertanyaan tersebut menjadi plot twist utama dalam cerita; spoiler alert, penelitian flu burung tersebut ternyata hanyalah skema korupsi dari pihak PWP2, dan resep nasi goreng Mbok Sawal ternyata berasal dari ibu Aruna sendiri. Namun, dalam beberapa aspek, saya merasa misteri-misteri tersebut diselesaikan dengan terlalu mudah. Aspek mengenai resep Mbok Sawal yang sebenarnya berasal dari ibu Aruna, misalnya, dapat lebih dikembangkan lagi untuk memberi sense akan seperti apa hubungan Aruna dengan ibunya. Saya tidak tahu apakah aspek ini lebih diperdalam di versi novel aslinya atau tidak.
Saya juga merasa bahwa konflik antar tokoh di film ini terkesan terlalu tergesa-gesa, dimunculkan agak terlambat menuju film dan selesai dengan begitu cepat. Fondasi dari konflik-konflik tersebut memang sudah ada—misalnya, tense antara Aruna dan Farish yang bertolak belakang atau adanya perasaan yang terpendam antara tokoh-tokoh utama—namun puncak dari konflik seakan mencuat terlalu cepat, dan resolusinya kurang dieksekusi dengan baik. Selama menonton film ini saya cenderung menyukai tokoh Aruna—namun, melihat dirinya terlalu cepat mengambil kesimpulan dan mudah terbawa perasaan pada pertengahan menjelang akhir film, tak jarang saya sendiri dibuat kesal olehnya. (Sejujurnya, di film ini, hanya Bono—yang perannya memang sebagai penengah di antara konflik—tokoh yang tidak pernah membuat saya kesal di satu titik dari awal hingga akhir film.) Kendati demikian, saya cukup puas dengan ending dari film ini; manis, konklusif, dan ditambah acara makan-makan enak.
Menurut saya, film ini cukup bagus dan menghibur, namun sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi lebih baik lagi. Saya merekomendasikan film ini untuk yang memiliki hobi memasak, makan (aren’t we all?), dan sedang mencari tontonan ringan.
Penulis
Hilly Ecclesiana
Mahasiswi yang lagi gabut gara-gara kuliah online. Suka menulis, menonton film, dan makan.
Penyunting
Farwa Malika
Tim Writer Kine
Comments
Post a Comment