Godzilla: King of The
Monsters, Benar-benar
Godzilla!
by Luthfi Ferdi S.
Judul :
Godzilla: King of The Monsters
Genre : Action/Adventure/Fantasy
Sutradara : Michael Dougherty
Penulis : Max Borenstein, Michael Dougherty, Zach Shields (berdasarkan Godzilla, King Ghidorah, Mothra, Rodan karya Toho)
Genre : Action/Adventure/Fantasy
Sutradara : Michael Dougherty
Penulis : Max Borenstein, Michael Dougherty, Zach Shields (berdasarkan Godzilla, King Ghidorah, Mothra, Rodan karya Toho)
Pemeran : Kyle Chandler, Vera Farmiga, Millie Bobby Brown
Jika membicarakan film bertema Kaiju[i]
di era kontemporer, kemungkinan besar yang pertama kali melintas di benak orang
banyak adalah film Pacific Rim. Hal ini dikarenakan memang jarang ada
film yang mengangkat tema Kaiju dengan serius, namun yang menarik, film Pacific
Rim sebenarnya diilhami oleh film-film bertema Kaiju legendaris, salah
satunya adalah Godzilla. Setelah kemunculannya pertama kali pada tahun 1954 di
Jepang, Godzilla berhasil mendapatkan perhatian audiens di seluruh dunia dan
menjadi ikon pop culture. Namun sayangnya, semenjak tahun 2000-an Godzilla sempat “tertidur”,
karena tidak ada film baru yang dirilis. Penantian akan kehadiran film Godzilla
baru akhirnya terbayarkan pada tahun 2014, Studio Legendary Pictures memutuskan
untuk merilis kembali film Godzilla dengan judul Godzilla.
Meski
fans dapat bernafas lega, karena Kaiju kesayangan mereka–yang kini disebut
dengan Titan–sudah bangkit lagi, tetapi mereka cukup kecewa dengan direksi yang
ditempuh oleh film tersebut. Alasannya karena film ini lebih terfokus kepada unsur
manusia, sementara Godzilla hanya ditempatkan sebagai penggerak cerita. Godzilla
hanya benar-benar mendapatkan panggung di penghujung film, ketika ia bertarung
dengan MUTO. Karena alasan inilah, fans merasa bahwa film Godzilla (2014) “kurang Godzilla”.
Belajar dari kesalahan tersebut, film Godzilla: King of The Monsters di bawah direksi
Michael Dougherty mengambil direksi yang berbeda. Kali ini porsi pertarungan
antar Titan mendapat porsi lebih, sehingga benar-benar seperti film Godzilla
yang diharapkan.
Pro-Kontra
Eksistensi Titan
Lima
tahun telah berlalu setelah pertempuran besar di San Francisco, antara Godzilla
yang dibantu militer AS melawan MUTO pada tahun 2014. Kejadian tersebut telah
menyebabkan dunia tidak lagi seperti apa yang kita kenal. Kini masyarakat telah
sadar bahwa monster raksasa dengan daya hancur masif, yang mampu menghancurkan
suatu negara beserta aset-aset militernya, bukanlah sekadar fiksi. Kemampuan
destruktif dari Godzilla dan juga MUTO, menyebabkan banyak orang ketakutan dan
melakukan demo besar-besaran menuntut pemusnahan Godzilla beserta Titan-titan
yang ada di dunia. Masyarakat yang pro pemusnahan Titan, berargumen bahwa Titan
hanya akan membawa kehancuran dan mengancam nyawa orang banyak, senat-senat di
AS juga setuju dengan argumen ini.
Gelombang
protes yang terjadi dan sentimen senat AS yang pro pemusnahan Titan, otomatis
menyeret Monarch, yaitu organisasi yang mengamankan serta mengamati Titan-titan yang ada di dunia ke
audiensi senat. Monarch berdalih bahwa eksistensi dari para Titan penting untuk
menjaga keseimbangan alam, lagi pula tidak semua Titan bersifat destruktif.
Godzilla misalnya, ia muncul pertama kali akibat uji coba nuklir AS dan kemudian muncul kembali untuk melawan
MUTO. Namun, di tengah audiensi antara senator AS dan petinggi Monarch, salah
satu pos observasi milik Monarch di Yunnan, China, di serang oleh sekelompok
orang bersenjata.
Investigasi
lebih lanjut terhadap penyerangan ini mengungkapkan, bahwa serangan dilakukan
oleh sekelompok eco-terrorist yang dipimpin
oleh Alan Jonah (Charles Dance). Sementara tujuan dari penyerangannya adalah
untuk mengambil alat bio-accoustic yang
bernama Orca, alat ini mampu menghasilkan suara yang dapat di dengar oleh para
Titan. Sehingga memungkinkan manusia untuk mengontrol Titan sampai batas
tertentu atau mengelabui Titan agar berpikir bahwa ada Titan lain yang
mengancam diri mereka.
Sarat
Konflik, Minim Drama
Jika
pada film Godzilla (2014) cerita dan konflik lebih
berfokus pada pertarungan antara manusia dan MUTO dengan Godzilla sebagai
penggerak cerita, maka di film Godzilla: King of The Monsters cerita dan konflik
terbagi menjadi konflik antar manusia, manusia dengan Titan, serta Titan dengan Titan. Dari sisi konflik antar manusia, kita akan menemukan Alan Jonah,
seorang eco-terrorist yang merasa
bahwa dunia harus dikembalikan kepada para Titan. Konflik antar manusia dan Titan sendiri dapat
dilihat dari gelombang demonstrasi yang menuntut agar Titan dimusnahkan. Sementara
konflik antar titan berfokus pada rivalitas antara Godzilla dengan Ghidorah (monster zero), yang memiliki motivasi
untuk menghancurkan bumi dan membentuknya kembali sesuai apa yang dia inginkan
dengan cara membangkitkan Titan-titan lain.
Direksi
yang diambil oleh Michael Dougherty yang memberikan porsi lebih pada
pertarungan antar titan, namun dengan tidak menghilangkan peran manusia
didalamnya, menjadikan
film ini benar-benar film Godzilla di mata fans. Misalnya saja, setelah
mendapatkan Orca, Alan Jonah kemudian melanjutkan aksinya dengan menyerang pos
observasi Monarch lainnya di Antartika. Kali ini tujuannya adalah untuk
membangkitkan Ghidorah, yang kemudian “disambut” oleh Godzilla. Tanpa basa-basi
keduanya langsung terlibat pertarungan yang intens, Ghidorah dengan gravity beam-nya sementara Godzilla
dengan atomic breath yang legendaris.
Selain pertarungan antara Godzilla dan Ghidorah, sebagai salah satu film di
MonsterVerse, Godzilla: King of The Monsters juga menampilkan
pertarungan antar titan yang lain. Misalnya antara Mothra dan Rodan, yang tidak
kalah epik dan seru.
Sayangnya
direksi baru film Godzilla ini membuat unsur drama dan motivasi antar karakter
berkurang, meskipun ada tetapi terkesan formalitas. Selain itu, pengembangan karakter
juga tidak dilakukan dengan baik. Hal ini diperparah dengan munculnya banyak
karakter baru, ambil contoh saja
Si kembar Dr. Ling
dan Dr. Ilene Chen. Tidak ada yang tahu siapa dua karakter ini, mengapa mereka
bisa ada di Monarch, dan apa motivasi keduanya. Masalah ini menyebabkan character development terasa datar dan
menyebabkan audiens kurang bisa relate dengan karakter yang ada. Untungnya ditengah kekacauan character development tersebut, Michael
Dougherty tetap menghadirkan Dr. Ishiro Serizawa, sehingga audiens masih bisa memahami bahwa karakter
yang ada sebenarnya sudah ada di semesta Godzilla meski tidak ditampilkan di film
sebelumnya.
Meski
kekurangan drama dan motivasi yang menggerakkan karakternya, film ini tetap
menarik untuk ditonton, karena CGI yang memukau, suara Titan yang menggelegar,
dan adegan pertarungan antar Titan yang epik. Sehingga membuat penonton terpaku ke layar
dan dapat memuaskan dahaga para pecinta Kaiju. Film ini juga membawa jiwa Godzilla yang lahir
pada tahun 1954, yang pada awalnya Godzilla merupakan
reaksi masyarakat Jepang atas tes nuklir yang dilakukan oleh AS
dan Soviet. Sebagai satu-satunya negara yang menjadi korban senjata nuklir,
sudah barang tentu masyarakat Jepang memiliki kecemasan dan ketakutan yang lebih atas
pengembangan senjata nuklir. Nah, film Godzilla: King of The Monsters sekarang membawa isu
yang relevan dengan masyarakat kita, misalnya isu overpopulasi, polusi, perang,
dan masih banyak hal lainnya yang merusak bumi ini. Dalam konteks ini Titan ada untuk menjaga
bumi dari manusia yang merusaknya.
Long live
the king!
[i] Kaiju adalah genre film Jepang yang menampilkan
monster raksasa. Istilah Kaiju juga dapat merujuk kepada monster raksasa
itu sendiri.
Penulis
Luthfi Ferdi S.
Seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi UGM, angkatan
2019. Hobi rebahan.
Penyunting
Farwa Malika
Tim Writer Kine
Comments
Post a Comment